Sebuah Bahu Atau Sekedar Punggung (?)
Ditempatku kini hujan, mungkin ditempatmu berada tidak. Karena terakhir
kali aku mendengar kabarmu, kamu sedang bahagia. Merajut mimpi-mimpimu yang
baru bersama duniamu yang baru. Ohsht maaf aku salah fokus. Akhir-akhir ini aku
terlalu sering berbicara dengan tembok, karena kau yang biasanya kuajak bicara
sudah mendapat lawan bicara yang klop sekarang.
Mengapa aku berani menulis lagi? Bahkan membawa cerita kamu? Karena seingatku
keadaan kita sedang tidak baik. Sangat. Aku taruhan kamu atau bayanganmu
sekalipun takkan membaca tulisan ini.
Malam nanti aku harap hujan turun. Dengan sangat lebat bersama dengan
petir yang menyambar. Kenapa? Karena aku ingin sekali menangis. Aku lelah
menangis bersama bantal buluk kepunyaanku di kamar. Ia marah karena terlalu sering
aku pakai untuk mengelap cucuran air mataku. Ia tak sudi lagi menemaniku
menangis. Katanya aku terlalu dramatis dan sok tersakiti dengan keadaan.
Tembok pun tak kalah marahnya. Ia menjadi dingin dan beku setiap kali aku
bercerita tentangmu. Terakhir kali ia mau bicara kala itu, ia berkata bahwa aku
harus ikhlas. LHO? Bukankah disurat Al-Ikhlas pun tidak begitu menjelaskan
secara rinci apa itu ikhlas dan bagaimana wujudnya? Lalu kenapa aku harus
ikhlas? Dan pertanyaan itu yang membuat tembok berdiam diri hingga sekarang. Lalu
berubah menjadi seperti saat ini.
Malam ini aku berniat untuk berlari-lari dibawah rintikan hujan yang
berlarian turun ke bumi. Aku berniat untuk bermain air yang menggenang di tanah
seperti anak kecil yang dilarang ibu hujan-hujanan. Atau berhubung aku membawa
Alfa, si hitam yang kini telah resmi menjadi pacarku, aku untuk pertama kalinya
ingin mengajak dia berpacu dengan waktu. Ah hal gila macam apa yang aku
fikirkan ini? Lupakan
Aku hanya lelah menunggu. Menunggu sesuatu hal yang belum pasti. Terlalu
bingung atas apa yang sudah digariskan Tuhan. Lalu memilih diam. Kau tau, aku masih
dipersimpangan jalan diantara jalan dimana aku sendiri yang melaluinya, dengan
jalan lainnya dimana ada kamu dan sesosok bayangan disana. Aku masih memandangi
punggungmu yang perlahan tapi pasti menjauh dari tempatku berada saat ini. Yang
jelas aku tak bisa kembali kebelakang, lalu menemukan kita yang masih tertawa
bahagia menggenggam tangan satu sama lain. Mustahil sekarang.
Cukup berceloteh, demi apa Tuhan mengabulkan doa ku. Kini hujan teramat deras
dengan tarian petir ala ala penari hip hop datang. Tegas dan penuh kebencian. Aku
memilih berlari tak tahu arah, bersembunyi dibalik gemericik air yang turun
tanpa henti, sesenggukan sendiri tanpa ada siapapun. Aku tahu ini tak akan menyelesaikan
semuanya, atau mengembalikan segalanya, tapi saat ini, detik ini, hanya ini
yang bisa aku lakukan. Hal semacam ini yang bisa membuatku tenang.
Berlari saja sepuasmu, menangis saja semaksimal yang kau bisa,
berteriaklah sekeras mungkin, lakukan apapun asal kau bahagia sekarang, tapi
berjanjilah padaku setelah ini kau akan jadi manusia yang lebih kuat dari
apapun. Suara Alfa terus saja menggema ditelingaku. Menguatkan namun juga tak
bisa membantu banyak.
Karena sesungguhnya yang aku butuhkan sebuah bahu atau sekedar punggung
yang dulu aku gunakan untuk bersandar. Dulu. Sangat dulu sekali. Sekian. Aku lelah
menangis.
Comments
Post a Comment