Jejak




Tempat pertama yang kukunjungi berupa bentangan sebuah jalan panjang yang sunyi. Tak ada lagi tawa renyah yang dulu sempat terdengar indah digendang telinga. Lampu lampu jalanan berubah redup. Guratan guratan kesedihan seakan bersemayam pada jalan ini. Aku pergi menarik diri dari sini.
Tempat kedua teramat teduh. Kaligrafi indah terpajang disetiap sudut dindingnya. Tempat yang tak pernah sepi dari kaki kaki pengunjung yang ingin singgah beribadah. Namun disini tak lagi ada yang berdiri tepat dishaf terdepan dari ku berdiri. Kukunjungi suatu sudut lain, tak ada lagi cipratan air yang menggangguku saat bersuci. Ini beda dan akupun memutuskan pergi.
Tempat selanjutnya tempatku menuntut ilmu. Bangunannya tetap sama, menjulang tinggi menyongsong awan. Tetap ramai dari haha hihi pelajar yang lalu lalang dipelataran. Namun tetap ada yang berubah. Tak ada lagi kamu yang menunggu didepan sekolah. Memarkir kendaraanmu dengan sabar hendak mengantarku menuju rumah. Ah, Aku kalut lalu pergi dengan cemberut.
Tempat terakhir yang kukunjungi berupa sebuah ruangan kecil tak berpenghuni. Kondisinya tak kalah murung dengan tempat lainnya. Kurasa tempat inilah yang paling muram dibanding 3 tempat tadi. Kumasuki dengan perlahan, dingin datang menabrak benteng pertahanan. Dinding demi dinding kusentuh dengan takut-takut. Kuberanikan diri masuk lebih jauh kesudut ruangan. Kutemukan setitik cahaya keemasan berlabel “impian”. Ia bersinar diantara segala macam keredupan disekitarnya. Ruangan menyeramkan ini hatiku. Yang tersisa hanya impian sekarang. Sisa sisa semangat menguap begitu saja kala satu persatu kecewa datang silih berganti. Yang terberat kala seseorang pergi. Bukan. Dia hanya pindah kelain hati. Justru aku yang beranjak pergi. Kurasa segala macam hal yang diperjuangkan akan sia sia jika tak ada rasa percaya akan berhasil.
Aku menyerah pada langkah yang mulai tanpa arah. Kecewa datang tanpa ampun menerpa dinding hati yang belum kokoh berdiri. Ditambah lagi tidak adanya kamu sebagai penopang sepi. Aku jatuh berkali-kali lalu terbangun dengan kakiku sendiri.
Aku bertahan pada cahaya keemasan disudut hatiku bernama impian. Yang kubalut dengan kepercayaan. Kurawat dengan kesetiaan. Dan kuwujudkan dengan perbuatan.
Kamu. .  terimakasih sudah pergi dari hati yang tak lagi utuh untukmu. Terlepas darimu justru membuatku tumbuh menjadi sosok yang tak kufikirkan sebelumnya. Bersamamu aku sempurna namun tanpamu aku menjadi dewasa.



Yogyakarta, Maret 2016

Comments

Popular posts from this blog

Tulisan Untuk Bapak Presiden RI

CERITA PART N Y A S A R !!

Moment September Ends